Ricklefs mengutip kunjungan pertama seorang Muslim Cina, Ma Huan, ke pesisir utara Pulau Jawa sekitar tahun 1413-1415 Masehi. Ma Huan adalah anggota armada Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming yang melakukan ekspedisi ke berbagai wilayah. Ia kembali mengunjungi Pulau Jawa pada tahun 1432 Masehi.
Buku yang ditulis Ma Huan, Yingyai Shenglan, pertama kali diterbitkan pada tahun 1451 Masehi. Namun, versi yang ada sekarang kemungkinan telah mengalami perubahan, baik dalam bentuk pengurangan maupun penambahan isi.
Yingyai Shenglan merupakan catatan perjalanan Ma Huan yang menggambarkan sejumlah negara, laut, dan pantai yang ia kunjungi, termasuk wilayah Jawa. Dalam catatan tersebut, Ma Huan mencatat bahwa ia tidak menemukan komunitas Muslim di pesisir utara Pulau Jawa meskipun sekitar 40 hingga 60 tahun sebelumnya terdapat batu nisan Muslim di Trowulan dan Tralaya, ibu kota Kerajaan Majapahit.
Ma Huan menyebutkan bahwa wilayah yang ia kunjungi terdiri dari tiga kelompok masyarakat. Pertama, adalah orang-orang Muslim yang berasal dari wilayah Barat atau Jazirah Arab, yang datang ke Jawa untuk berdagang. Mereka dikenal dengan pakaian bersih dan makanan yang terjaga kebersihannya. Kedua, ada orang-orang China yang berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou, yang melarikan diri dari tempat asal mereka dan menetap di Jawa. Banyak di antara mereka yang memeluk Islam dan melaksanakan ibadah puasa. Ketiga, Ma Huan menggambarkan adanya kelompok orang dengan penampilan yang kasar dan kebiasaan makan yang sangat tidak higienis, termasuk makan bersama anjing peliharaan mereka.
Menurut Ricklefs, deskripsi Ma Huan tentang kelompok orang yang dianggapnya “seram” dan “jorok” sangat kontras dengan sumber sejarah lain yang menggambarkan peradaban Jawa-Hindu yang maju. Ricklefs menyarankan bahwa kelompok tersebut kemungkinan bukanlah masyarakat Jawa asli, melainkan Suku Kalang yang diasingkan di Pulau Jawa karena perbedaan kebiasaan, budaya, dan kepercayaan mereka.
Ricklefs juga berpendapat bahwa Muslim yang dijumpai Ma Huan di pesisir utara Pulau Jawa mungkin mengenakan pakaian dan berperilaku seperti Muslim asing dari Barat, Arab, atau Cina, yang membuat Ma Huan kesulitan membedakan antara orang Jawa Muslim dan Muslim pendatang. Ia menambahkan bahwa pada awal abad ke-15, identitas sebagai orang Jawa dan Muslim mungkin belum diakui secara luas. Namun, di kalangan bangsawan Jawa pada abad ke-14, khususnya di istana Kerajaan Majapahit, terdapat individu yang memeluk Islam, seperti yang tercermin dalam batu nisan di pemakaman Trowulan dan Tralaya.
Ricklefs juga mencatat bahwa jika laporan Ma Huan tentang bandar-bandar atau kota pelabuhan di pesisir utara Jawa benar adanya, maka wilayah tersebut telah menjadi kota-kota kosmopolitan yang banyak didatangi oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia. Perkembangan pesisir utara Jawa pada abad ke-17 seiring dengan pesatnya perdagangan internasional, terutama karena meningkatnya permintaan rempah-rempah, menjadikan kota-kota pelabuhan di daerah tersebut sebagai pusat kosmopolitan yang penting dalam sejarah Islamisasi di Jawa.